Sepak Bola Nasional Di Era 50-an sampai Era 70-an

Posted by

Untuk membakar semangat nasionalisme dan membangun karakter bangsa Indonesia, Soekarno kerap berteriak dengan lantang, “dont leave history!” atau “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Jargon-jargon tersebut menampar di semua aspek kehidupan, termasuk sepak bola Indonesia di era 50-an.
Buat para pemain nasional Indonesia zaman sekarang, yang didominasi generasi kelahiran awal milenium, mustahil rasanya mendapatkan stimulan dan spirit dari pemimpin revolusioner seperti Presiden Soekarno pada sekarang ini. Karena ada pergeseran nilai-nilai, sulit membandingkan kebanggaan nasional didada pemain bola dulu dan sekarang.


Yang ironis, kejayaan sepakbola negeri ini terjadi justru ketika kondisi bangsa yang masih compang-camping dan serba kekurangan di sana-sini. Kompetisinya masih amatir berbentuk perserikatan. Ini terjadi dimulai pada 1931 atau setahun setelah PSSI berdiri, yang bertahan selama tiga dekade hingga 60-an.
Dulu, pemain bola seperti masyarakat (saat itu) pada umumnya. Tidak ada yang serasionil, tidak juga  sepragmatis,apalagi sampai serbaperhitungan seperti zaman sekarang ini. Di Zaman dulu, para pemain masih lugu, sangat sederhana hingga tanpa terlampau mempersoalkan imbalan dan sebagainya, lebih dapat terpusat mencurahkan perhatian dan usaha pada peningkatan permainan, “kata Ketua Umum PSSI (1967-1974), Kosasih “Mang Kos” Purwanegara S.H., dalam memoir yang ditulis 5 Januari 1986.
Pada zaman itu kebanyakan impian para pemuda yang menggeluti olah raga Cuma 1, yakni hanya ingin menjadi pemain sepakbola nasional. Jika ingin dikenal luas dan cepat seantero negeri, dan bisa naik pesawat terbang maka hanya satu jawabannya, yaitu menjadi pemain sepak bola yang top!
Saya tak pernah bisa membayangkan bisa naik pesawat terbang jika tidak menjadi pemain bola. Pasti susah rasanya, “begitu yang pernah diakui Sarman Panggabean, pemain nasional era tahun 1968-tahun 1975, yang berasal dari klub PSMS Medan pada waktu itu.
Semua masih serba susah, kecuali hasrat dan semangat yang menyala-nyala. Walau dengan kondisi minus, kompetisi yang ada benar-benar diplot sabagai sarana pembinaan. Bukan sekadar mencari titel juara, apalagi bonus.


Blog, Updated at: 10/13/2014 11:40:00 AM